3.
Para pengarang Balai Pustaka
Kalau buku-buku
kumpulan sajak kebanyakan diterbitkan oleh penerbit-penerbit swasta, maka
roman-roman masih tetap terutama diterbitkan oleh Balai Pustaka. Bahkan para
pengarang tokoh pujangga baru seperti Sutan Takdir Alisjahbana pun menerbitkan
roman-romannya pada Balai Pustaka. Pengarang yang sudah pernah menerbitkan buah
tangannya pada tahun dua puluhan, banyak yang mendapat kesempatan lebih luas
pada kurun waktu tiga puluhan, misalnya Nur Sutan Iskandar dan Tulis Sutan
Sati. Dalam pada itu pengarang-pengarang barupun muncul sebagai pengarang roman
yang penting seperti Igusti Nyoman Pandji;Tisna, Suman Hs, Aman Dt. Madjoindo
dan lain-lain.
Apabila pada masa tahun
dua puluhan para pengarang yang menulis roman yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka itu kebanyakan orang Sumatera, maka tidaklah demikian pada masa tiga
puluhan. Hal seperti itu pun kelihatan pada perkembangan para pengarang dalam
lingkungan pujangga baru seperti telah pernah kita singgung. Memang masih
banyak pengarang yang berasal dari Sumatera dibandingkan dengan yang datang
dari daerah lain, namun jumlah yang datang dari daerah lainpun kian hari kian
berkembang juga.
A.Nur
Sutan Iskandar
Nur Sutan Iskandar
lahir di Maninjau tahun 1893 adalah pengarang Balai Pustaka dalam arti yang
sesungguhnya. Karena minat dan perhatiannya kepada dunia karang-mengarang,
meninggalkan kedudukannya sebagai guru dan melamar ke Balai Pustaka. Tahun 1919
ia bekerja sebagai korektor redaksi Melayu, kemudian menjadi anggota redaksi
dan kepala redaksi Balai Pustaka sampai pensiun. Selama bekerja disana, Nur
Sutan Iskandar telah mengarang, menerjemahkan, menyusun, menyandur dan
memperbaiki berpuluh-puluh naskah sampai menjadi buku.
Romannya yang pertaman
berjudul Apa Dayaku karena Aku Perempuan
(1922) diterbitkan oleh sebuah penerbit swasta. Tetapi buku-bukunya yang
kemudian semuanya/pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka. Bukunya yang
kedua ialah sebuah roman pula yang dikerjakannya dari naskah Abd. Ager,
berjudul Cinta yang Membawa Maut (1926).
Bukunya yang pertama yang mulai menarik hati adalah Salah Pilih(1928). Dalam roman ini dikupas olehnya tentang
keburukan perkawinan Asri dengan Saniah. Saniah dipilih Asri karena pandai
berbahasa Belanda tetapi kepandaian dan keturunan bangsawan malah memberikan
sifat sombong kepada Saniah. Saniah akhirnya mati dan Asri kawin dengan gadis
idamannya sejak masih kecil, yaitu Asnah, pengarang dengan bukunya ini
mengkritik berbagai keburukan adat Minangkabau, antaranya yang melarang kawin
dengan saudara sepersukuan dan yang suka membanggakan keturunan.
Roman karangan Nur
Sutan Iskandar yang terpenting adalah Hulubalang Raja(1934), yang merupakan
sebuah roman sejarah yang dikerjakan berdasarkan sebuah disertasi H.Kroeskamp Dc Westkust en Minangkabau (1665-1668)
pantai barat dan minangkabau, (1665-1668 terbit 1931)
Roman Cinta Tanah Air (1944),
yang ditulis Sutan Iskandar pada jaman Jepang, merupakan suatu kegagalan dan
hanya merupakan suatu roman propaganda Jepang yang murah saja. Lebih baik
tetapi masih dalam suasana propaganda juga adalah roman Mutiara(1946) yang merupakan roman sejarah perjuangan wanita Aceh
dalam menghadapi Belanda. Tetapi bila dibandingkan dengan Hulubalang Raja, Mutiara
ini kurang meyakinkan karena kurangnya pendalaman sejarah dan kejiwaan.
Demikian juga dengan roman berikutnya yang berjudul Cobaan (1946) dan Jangir Bali(1946),
tidak mencapai nilai yang dicapai karangan-karangannya sebelum perang.
Karangan Nur Sutan
Iskandar yang perlu disebutkan disini adalah Pengalaman Masa Kecil(1949) dan Ujian Masa(1942). Keduanya merupakan
karangan otobiografis. Pengalaman Masa Kecil menarik hati, melukiskan
pengalaman-pengalamannya sampai dia berusia kurang lebih 15tahun, ketika ia
mulai mengajar di sekolah desa pada tahun 1908. Terutama karena di dalamnya ia
melukiskan kehidupan kampung Minangkabau, Ujian
Masa lebih merupakan catatan-catatan tentang peristiwa-peristiwa politik
yang terjadi di Indonesia sejak aksi militer Belanda pertama sampai awal 1948.
B.
I Gusti Njoman Pandji Tisna
Dalam
tahun 1935 oleh Balai Pustaka diterbitkan sebuah roman berjudul Ni Rawit Ceti Penjual Orang yang melukiskan kebengisan masyarakat feodal di Bali.
Buku ini dikarang oleh I Gusti Njoman Pandji Tisna yang kemudian menjadi Anak
Agung Pandji Tisna, putera bangsawan Bali yang lahir di Singaraja tahun 1908.
Roman ini adalah roman pertama yang melukiskan kehidupan masyarakat Bali yang
ditulis oleh putera Bali sendiri dalam bahasa Indonesia. Dibandingkan dengan
roman-roman yang ditulis oleh pengarang kelahiran Sumatera, roman buah tangan I
Gusti Njoman Pandji Tisna ini terasa lebih hidup dan lebih lebih cepat geraknya.
Tokoh-tokohnya
pun lebih keras dan kejam. Roman ini kemudian disusul oleh roman Pandji Tisna
yang kedua, berjudul Sukreni Gadis Bali
(1963) yang juga melukiskan kehidupan masyarakat Bali yang keras dan kejam.
Seorang ibu yang hanya mengingat keuntungan materi yang bakal diperolehnya
secara tidak sadar telah menjual anak gadisnya sendiri. Nasib yang malang ini
merupakan hukum karma terhadap tingkah lakunya sendiri dimasa lampau. Dalam
roman ini pun terdapat kritikan pengarangnya yang tidak setuju kepada beberapa
cara dan kepercayaan yang ketika itu masih hidup dalam masyarakat Bali. Pandji
Tisna memang terkenal sebagai seorang putera Bali yang mempunyai cita-cita
hendak mengubah keadaan masyarakat Bali yang terbelakang dan menyedihkan.
Intrik
keraton dan berbagai-bagai kebiasaan raja-raja Bali dilukiskan pengarang dalam
bukunya I Swasta Setahun di Bedahulu(1938).
Pola kehidupan Bali di mana hukum karma menguasai nasib seseorang menjadi dasar
cerita ini. I Swasta, keturunan Manorbawa harus berkorban dan mengalah pada I
Lastya dalam bercintakan I Nogati karena dahulu Manorbawa telah merebut kekasih
sahabatnya I Kulup Bok yang merupakan leluhur I Lastya. Dosa kakeknya harus
ditebus oleh I Swasta yang sebenarnya tak rahu-menahu tentang hal itu.
Disamping
roman yang diterbitkan di Balai Pustaka itu, Pandji Tisna masih menerbitkan
roman pula. Pada masa sebelum perang, di Medan terbit romannya yang berjudul
Dewi Karuna(1938). Dan sehabis perang ia menerbitkan sebuah roman pula yang
berjudul I Made Widiadi (kembali kepada Tuhan). Roman yang terbit tahun 1954 ini
dikarang penulisnya setelah memeluk agama kristen.
C.
Tulis Sutan Sati
Tulis Sutan Sati telah menerbitkan buku sejak 1928,
yaitu sebuah roman berjudul Sengsara
Membawa Nikmat yang merupakan romannya yang pertama. Kemudian ia
menerjemahkan kaba’ sabai nan aluih (1929)
yang ditulis oleh M. Thaib Gelar St Pramuntjak dalam bahasa Minangkabau ke
dalam bahasa Indonesia. Iapun menuliskan dua buah syair. Yang pertama berjudul Syair Siti Marhumah yang Saleh(1930) dan yang
kedua syair Rosina(1933) yang
dikerjakannya berdasarkan suatu kisah yang benar-benar terjadi di kota Betawi,
dipetik dari buah karangan seorang wartawan terkenal bernama F.D.J Pangemanan.
Disamping itu masih menulis tiga buah roman lagi, yaitu Tak Disangka(1929), memutuskan
Pertalian(1932) dan Tidak Membalas
Guna(1932).
D.
Paulus Supit
Paulus Supit seorang pengarang berasal dari Menado
menulis sebuah roman tentang perjuangan sebuah keluarga yang taat beragama
dalam menghadapi berbagai ranjau kehidupan, berjudul Kasih Ibu (1932). Buku ini menarik karena daerah asal pengarangnya
dan yang dilukiskannya pun adalah kehidupan sebuah keluarga sederhana di
Tomoholon.
4. Para Pengarang Wanita
Para pengarang wanita Indonesia jumlahnya tidak
banyak, apalagi pada masa sebelum perang. Yang paling terkenal dan paling
penting ialah Selasih atau Seleguri, keduanya nama samaran Sariamin (lahir di
Talu, Sumatera Barat, tahun 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak.
Kedua buah roman itu adalah Kalau Tak
Untung(1933) dan Pengaruh Keadaan (1937). Sajak-sajaknya banyak
dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe
dan Pandji Poestaka.
Kehidupan yang penuh penderitaan dan kemelaratan
agaknya menjadi minat pengarang wanita ini. Kalau
Tak Untung melukiskan percintaan dua orang anak yang bersahabat sejak masih
kecil, sama-sama sekolah dan sama-sama pula hidup dalam tak berkecukupan. Cinta
Masrul dan Rusmani yang sudah tertanam dan tumbuh sejak masih kanak-kanak itu
tidak berkesampaian. Dalam pengaruh
keadaan dikisahkannya kesengsaraan dan kemalangan seorang gadis bernama
Yusnani yang hidup dalam tekanan ibu tirinya, ia kehilangan akan rasa
kepercayaan dirinya. Tetapi sekali ini kemalangan dan kesengsaraan si gadis
berakhir bahagia, yaitu setelah diambi oleh saudaranya dan ditolong oleh
saudaranya yang bernama Syahruddin yang kemudian mengambilnya sebagai isteri.
Pengarang wanita lain yang juga mengarang roman
adalah Hamidah yang merupakan nama samara Fatimah H. Delais(1914-1953) yang
pernah namanya tercantum sebagai pembantu majalah Poedjangga Kehilangan Mestika (1935). Juga pengarang wanita ini agaknya seorang
yang suka bersedih-sedih. Yang diceritakannya dalam roman ini adalah kemalangan
dan penderitaan pelakunya, seorang gadis yang mula-mula kehilangan ayah dan
kemudian kehilangan kekasih berturut-turut. Karena putus asa akhirnya ia
menyetujui dikawinkan dengan seorang yang tidak dicintainya. Perkawinan itu pun
malang, karena bertahun-tahun tak juga kunjung mempunyai anak, sehingga
terpaksa akhirnya ia memberikan izin kepada suaminya untuk mengambil isteri
lain.
Adlin Affandi dan Sa’adah Alim (1898-1968)
masing-masing menulis sebuah sandiwara, masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya. Sa’adah Alim disamping
itu menulis pula sejumlah cerpen yang kemudian dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941). Ia pun
menerjemahkan Angin Timur Angin Barat buah tangan pengarang wanita
berkebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah nobel 1938, ialah Pearl S.Buck (lahir 1892). Disamping itu
ia pun banyak lagi menerjemahkan buku-buku lain.
Pada saat-saat menjelang Jepang datang, muncul pula
Maria Amin yang dilahirkan di Bengkulu tahun 1920 yang menulis sajak-sajak
dalam majalah Poedjangga Baroe, tetapi
peranannya lebih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan mengumumkan
beberapa prosa lirik yang simbolistis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar