MAKALAH
LINGUISTIK UMUM
AKSARA DAN EJAAN
DISUSUN OLEH:
1.
Dede Pratiwi 2222101678
JURUSAN DIKSATRASIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan limpahan karunia dan rahmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Sholawat beserta salam kami
curahkan kepada junjungan nabi besar kami Muhammad SAW, beserta keluarga dan
sanak saudaranya.
Makalah ini kami persiapkan untuk memenuhi persyaratan
tugas linguistic umum.
Selama penyusunan makalah ini tidak sedikitpun kami menemui
berbagai kesulitan dan hambatan baik segi moril dan materil.Namun Alhamdulillah
semuanya bisa teratasi berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak.
Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Odien R selaku dosen
mata kuliah linguistic umum, dan kepada
semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan pada waktunya
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna
oleh karena itu, kami mengharap kritik dan saran yang membangun demi kebaikan
makalah ini kedepanya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kami khususnya
dan bagi yang membaca pada umumnya amin
Serang, Januari
2011
Penulis
Aksara
Aksara
adalah
Aksara
adalah istilah bahasa Sansekerta,
akshara, Istilah lain untuk menyebut aksara adalah huruf atau abjad (bahasa Arab) yang dimengerti sebagai lambang
bunyi (fonem) sedangkan bunyi itu sendiri adalah lambang pengertian yang
menurut catatan sejarah secara garis besar terdiri dari kategori (Kartakusuma
2003):
- Piktografik antara lain aksara hieroglif
Mesir, Tiongkok Purba;
- Ideografik antara lain aksara Tiongkok masa kemudian yang hasil
goresannya tidak lagi dilihat melukiskan benda konkrit;
- Silabik antara lain menggambarkan suku-suku kata
seperti nampak pada aksara Dewanagari (Prenagari), Pallawa
Jawa, Arab, Katakana dan Hiragana Jepang;
- Fonetik antara lain aksara Latin, Yunani, Cyrilic atau Rusia dan Gothik atau Jerman.
Ada pendapat sebelum hadir aksara Arab dan Latin sekarang, tulisan yang lazim dipergunakan
di kawasan Asia Tenggara
(kecuali di Vietnam dan sebagian kalangan penduduk Cina
Selatan) diduga sebagian besar dari pengaruh India.
Begitu pun halnya yang terjadi di Nusantara para sarjana (pribumi dan asing)
hampir selalu mengajukan pendapat senada bahwa aksara di Nusantara hadir sejalan dengan berkembangnya
unsur (Hindu-Buda) dari India yang datang dan menetap,
melangsungkan kehidupannya dengan menikahi penduduk setempat. Maka sangat
wajar, langsung atau tidak langsung disamping mengenalkan budaya dari negeri
asalnya sambil mempelajari budaya setempat di lingkungan pemukiman baru, salah
satu implikasinya adalah bentuk aksara (de Casparis 1975).
Namun
sejauh fakta yang ada, pendapat itu tidak disertai penjelasan tuntas hingga
pada suatu waktu seorang ahli epigrafi yang berkebangsaan
Prancis bernama Louis Charles Damais (l951--55)
yang menyatakan bahwa hipotesis para ahli tersebut belum benar-benar menegaskan
darimana dan bagaimana awal kehadiran serta mengalirnya arus kebudayaan India
ke Nusantara kecuali diperkirakan tidak hanya
berasal dari satu tempat saja, tetapi juga dari berbagai tempat lainnya.
Walaupun
tidak dipungkiri bahwa aksara-aksara di Nusantara memang menampakkan aliran
India selatan atau aliran India utara, namun juga cukup rumit dan sulit
ditentukan darimana kepastian awalnya sebab meskipun ada pengaruh India, tetapi
kebudayaan India tidaklah berperan sepenuhnya terhadap lahirnya aksara di
Nusantara khususnya suku bangsa yang menghasilkan sumber tertulis dengan
mempergunakan aksara-aksara nasional atau aksara daerah yang tergolong archais
itu.
Ada asumsi bahwa kebudayaan India datang ke
Nusantara semata karena peran cendekiawan Nusantara sendiri yang telah turut
ambil bagian ke kancah pergaulan politik internasional. Tetapi tidak berarti
bahwa dikala itu bangsa Nusantara belum mengenal aksara sebagai alat melakukan
interaksi sosial dengan bangsa-bangsa lain. Wujud ataupun bentuk aksara yang
berperan pada periode yang disebut “klasik’ itupun sesungguh-sungguhnya
merupakan hasil dayacipta cendekiawan lokal yang telah meramu secara selektif
atas unsur-unsur asing dari berbagai aliran yang pada klimaksnya mencapai
kesepakatan gaya jenis dan bentuk aksara sesuai kondisi wilayah budaya. Saat
berlangsungnya proses inovasi, masyarakat Nusantara telah mencapai kondisi siap
mental, karena itu tatkala inovasi asing (luar) tiba, khususnya dari India,
masyarakat Nusantara segera dapat mencerna dan menyesuaikan diri tentu dengan
melalui pengetahuan dan pengalaman kebudayaan setempat (Damais 1952; 1955).
Di
masa lampau aksara diwujudkan atau digambarkan dengan cara digores atau dipahat
pada berbagai bahan (media) keras seperti batu,
logam (emas,
perunggu, tembaga), kayu,
juga bahan-bahan lunak seperti daun tal (ron-tal), atau nipah. Alat menggores
atau memahat aksara pun disesuaikan dengan kadar kekerasan bahan yang
dipergunakannya yakni semacam tatah kecil (paku/pasak) menyudut tajam pada
bagian ujungnya, atau semacam pisau kecil dibentuk melengkung, pipih, sangat
tajam. Selain berfungsi untuk menorehkan aksara, juga untuk mengiris dan
menghaluskan bahan (daun) menjadi lempiran-lempiran tipis dengan ukuran
panjang, lebar dan ketebalan tertentu yang siap pakai. Bahan-bahan keras
seperti batu atau jenis logam tertentu (emas, tembaga, perunggu) dipakai semata
karena bahan tersebut dianggap lebih tahan lama.
Sejumlah
besar data tekstual (prasasti/document) dari
masa lampau sebagian besar ditemukan pada batu atau lempeng emas, perunggu
maupun tembaga dan selalu dikeluarkan oleh penguasa (raja). Oleh karena itu
setiap prasasti adalah dokumen resmi pemerintah negara atau kerajaan dan
benar-benar disahkan oleh raja dengan kata lain Surat Keputusan (SK) Kerajaan
yang bersangkutan. Anugrah dari raja kepada seseorang yang dianggap berjasa
atau memutuskan sesuatu perkara hukum (perdata). Karena itu selain digoreskan
pada batu (otentik), dibuat beberapa copy atau tembusan (tinulad/tiruan
otentik) prasasti yang digoreskan pada lempeng tembaga disebut tamra prasasti
(Kartakusuma 2003; 2006).
Pada
masa dahulu cara pengawetan sesuatu bahan belum dikenal, satu-satunya upaya
kearah itu disalin kembali, namun teknik penyalinan kembali lebih sering
dilakukan pada sejumlah naskah pada daun tal (rontal),
atau daluwang
semacam lembaran kertas atau bahan yang diolah dari kulit pohon tertentu, Berbeda
dengan negeri Cina, aksara dituliskan dengan menggunakan kwas
dengan cara disapukan setelah dicelupkan pada cairan berwarna pekat (semacam
tinta). Tentu saja hasilnya jauh berbeda, betapapun hasil goresan berkesan
lebih nampak jikalau dibandingkan hasil sapuan, karena aksara yang digoreskan
akan menampakkan jejak-tekan berbekas dalam dan terasa manakala diraba dan
tidak memerlukan pewarna (tinta) seperti yang dihasilkan oleh sapuan kwas. Menggores
atau memahat aksara dengan alat memang jauh lebih rumit, memerlukan keahlian
dan ketrampilan dengan ketekunan khusus, hasil latihan dan kebiasaan (secara
terus-menerus).
Oleh
karena itu di masa lampau untuk menggoreskan aksara atau memahat suatu aksara
(naskah karyasastra atau prasasti) dipegang oleh ahli pemahat aksara yang
disebut citralekha. Istilah pinjaman dari bahasa Sanskerta dari kata citra =
clear, bright, distinguished given to image in round with all limbs completely
worked out and shown; sedangkan lekha-laikhani = instrument for writing, reed
pen, pencil (Sircar 1965). Maka itu hasil yang digoreskan atau uang pahatan
aksara yang berkembang pada masa
klasik bentuknya lebih dapat digolongkan sebagai karyaseni
kebudayaan menampilkan kekhasan atau keunikan jejak bekas tersendiri. Tentu
saja setiap aksara tidak pula ter-lepas dari gaya dan tekanan pahatan yang nampak
pada bagian-bagian teks aksara dicirikan oleh tebal, tipis, dengan posisi tubuh
aksara tegak, agak tegak, dan miring, ataupun bentuk yang persegi, bulat, pipih
memanjang, melebar, tambun, dan kokoh.
Sambandha: Aksara-Aksara
di Nusantara (Dwipantara)
Sejarah
mencatat bahwa aksara tertua di Nusantara (Asia Tenggara umumnya)
disebarluaskan seiring dengan menyebarnya agama Buddha, jenis aksara yang semula dipergunakan untuk menulis
ajaran. mantra-mantra suci atau teks-teks dengan jenis aksara yang dipakainya
disebut Sidhhamatrika, disingkat Siddham. Tetapi sarjana Belanda lebih menyukai istilah Prenagari (Damais
1995; Sedyawati 1978).
Jenis
aksara inilah yang kemudian berkembang di Asia Tenggara walaupun hanya terbatas
atau terpatri, untuk menulis teks-teks keagamaan pada media tablet, materai
atau stupika yang dibuat dari tanah liat (bakar atau terracotta) atau dijemur dan
dikeringkan matahari. Objek tekstual jenis ini hampir
dipastikan tidak atau jarang disertai unsur pertanggalan, karenanya sulit
ditentukan periodenya secara tepat. Namun melalui analisis palaeografis yakni
perbandingan kemiripan tipe, gaya, bentuk aksara dari zaman ke zaman, maka
khusus aksara pada tablet, meterai atau stupika yang ditemuakan di Asia
Tenggara diperkirakan dari sekitar abad pertama sampai ketiga Masehi (A.D). Di
Nusantara benda-benda seperti ini ditemukan di Sumatra, Jawa
dan Bali dengan menggunakan bahasa Sanskrta.
Aksara yang kemudian lebih populer di
Nusantara adalah aksara dari (dinasti) Pallava
(India selatan) selanjutnya disebut aksara Pallawa (saja), Juga memiliki
kecenderungan tidak menyertakan unsur pertanggalan, dijumpai pada prasasti
tujuh Yupa (tugu peringatan kurban) kerajaan Kutai (Kalimantan timur) yang
diperkirakan dari tahun 400 Masehi dan sejumlah prasasti dari kerajaan Tarumanagara (Jawa Barat) tahun 450 Masehi.
Kedua
kerajaan yang cukup jauh letaknya sama-sama mengggunakan aksara Pallawa-Grantha
dan bahasa Sanskrta
dengan gaya khas inovasi-nya. Prasasti-prasasti masa Tarumanagara (tujuh) dipahatkan pada batu alam.
Khusus prasasti Ciaruteun
dan Muara
Cianten (Kampung-muara), di tepi (sungai) Cisadane dan Cibungbulang
(Bogor), Jawa Barat, disusun dan ditata dengan metrum (sloka) Sanskrta;
ada juga yang berpahatkan pilin, umbi-umbian dan sulur-suluran. Beberapa
sarjana menyebut pahatan pilin, umbi, dan sulur-suluran itu sebagai bentuk
aksara khusus yang disebut kru-letters, conch-shell-script atau aksara sangkha.
Sejauhmana kebenarannya, yang jelas pilin, pilin gandha ataupun sulur-suluran
merupakan citra gaya seni geometris yang paling tua dikenal manusia di bumi
Nusantara, sebelum dikenal aksara (Djafar 1978).
Ragam hias yang kemudian lebih banyak
ditemukan sebagai indegenous khusunya berkembang di beberapa daerah di Sulawesi “Garonto Passura” . Karakter-karakter
yang memiliki keistimewaan sebagai hasil dayacipta setempat yang telah sangat
tua yang dikembangkan di alam dan lingkungan kebudayaan yang didasari kemapanan
kreativitas dan berkembang sesuai kondisinya. Ciri perkembangan inilah yang
kemudsian menjadi complicated sebab setiap individu atau kelompok masyarakat
dari suatu lingkungan kebudayaan memiliki konsep-konsep untuk mengembangkan
gaya dan bentuk aksara selanjutnya melahirkan tipe-tipe khas pendukung budaya.
Pada dasarnya aksara yang berkembang di Nusantara secara visual khususnya pada
periode Klasik secara umum terdiri dari 33 dasar ucapan sebagai berikut di
bawah:
Dasar
Ucapan
|
|
Pendek
|
Panjang
|
1.
|
Velar/laringal/guttural
|
a
|
ã
|
2.
|
labial
|
u
|
û
|
3.
|
palatal
|
i
|
î
|
4.
|
lingual/domal
|
r
|
ŗ
|
5.
|
dental
|
l
|
Ļ
|
Vokal
Rangkap [diftong]
|
|
|
Semua panjang
|
1.
|
gutturo palatal
|
e
|
ai
|
2.
|
gutturo labial
|
o
|
au
|
|
|
ö
|
atau eu
|
Vokal
Perubahan
|
|
|
a.
|
visagra
|
[h]
|
b.
|
anusvaraabial
|
[ŋ]
|
Konsonan
Dasar Ucapan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
velar/laringal guttural
|
k
|
kh
|
g
|
gh
|
ng
|
|
|
|
2.
|
palatal
|
|
c
|
ch
|
j
|
jh
|
ny
|
y
|
š
|
3.
|
lingual
|
|
ţ
|
ţh
|
h
|
ņ
|
ŗ
|
ş
|
|
4.
|
Dental
|
|
t
|
th
|
d
|
dh
|
n
|
l
|
S
|
5.
|
labial
|
|
p
|
ph
|
b
|
bh
|
m
|
w
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
h
|
Sejak awal kehadirannya aksara-aksara di kawasan Asia Tenggara hadir berkembang pada periode-periode yang hampir sama menunjukkan adanya kemiripan berlangsung hingga abad VIII Masehi. Meskipun dalam beberapa hal masih memper-lihatkan pengaruh Pallawa seperti gaya aksara masa sesudahnya yang oleh Boechari disebut aksara Pasca Pallawa, namun hampir di setiap wilayah Asia Tenggara Daratan dan kepulauan (Nusantara/Dwipantara) sekurang-kurangnya abad VIII Masehi telah berkembang aksara yang pada prinsipnya sama tetapi memiliki corak-corak khusus (tersendiri).
Gaya
dan jenis aksara sebagian besar mirip aksara pada sejumlah dokumen (sumber)
tertulis di Sumatra dan Jawa
mempergunakan jenis bahasa pengantar yang dikenal berkembang pada masing-masing
daerah pendukung budaya (a.l. Malayu
kuna, Jawa kuna,
Sunda
kuna dan Bali kuna).
Beberapa pendapat menyatakan bahwa kemungkinan
aksara-aksara yang hadir di Nusantara merupakan perkembangan dari aksara Pallawa
namun ciri dan pertaliannya masih belum benar-benar dijelaskan, sebab
difrensiasi ciri atas aksara-aksara lokal dan kaitannya kepada Pallawa
terlampau jauh. Batas antara gaya aksara yang satu (lebih tua) dengan yang hadir
kemudian sulit ditentukan, kemungkinan keduanya berkembang secara hampir
bersamaan (overlapping). Atau gaya yang telah ada kemungkinan tersilih oleh
kehadiran gaya dan jenis aksara yang baru, peralihan dan pergantian sesuai
perkembangan zaman seperti yang terjadi dengan munculnya aksara pegon dan
latin. Yang baru telah berkembang lebih meluas sedangkan yang lama berkembang
secara lokal saja. Perbedaan tersebut nampak seperti yang kemudian berkembang
sebagai aksara Jawa (tengahan atau baru), terdiri 20
aksara [ho-no-co-ro-ko]:
[ha]-
[na]- [ca]- [ra]- [ka]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [dha]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [tha]- [nga]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [dha]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [tha]- [nga]
Kemudian
aksara
Sunda yang kerap disebut Ca-ca-ra-kan dengan bunyi yang hampir sama
tetapi terdiri dari 18 aksara
[ha]-
[na]- [ca]- [ra]- [ka]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [nga]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [nga]
Kuatnya indegenous yang menjadi ciri aksara di Nusantara adalah untuk mengatasi kesulitan tatkala penyesuaikan sistem fonetik (bunyi) bahasa-bahasa Nusantara dalam mengalihaksarakan bunyi pepet/ pepat (=tanda seperti ) aksara dalam suatu kata untuk menyatakan bunyi è; é; ê; æ; ë) dan hiatus (bunyi peralihan diantara dua monoftong berdampingan dan membentuk dua suku berurutan tanpa jeda atau konsonan antara seperti sia – sya – sya; dua – duwa – dwa), semua unsur bunyi tersebut hanya dikenal didalam kosakata (abjad) bahasa-bahasa daerah di Nusantara (Jawa, Sunda, Bali, Sumatra, atau Malayu) yang tidak dikenal dalam kosakata bahasa ataupun aksara pengaruh dari India. Ketiadaan inilah yang justru membedakan antara aksara Nusantara dan India, tanda-tanda bunyi sepenuhnya milik ”multlak” masyarakat Nusantara dan tentu saja harus dicantumkan ke bentuk aksara yang disebut diakritis.
Ejaan
Ejaan adalah
penggambaran bunyi bahasa (kata,
kalimat, dsb) dengan kaidah tulisan (huruf)
yang distandardisasikan. Ejaan biasanya memiliki tiga aspek yaitu
- aspek fonologis yang
menyangkut penggambaran fonem dengan huruf dan
penyusunan abjad
- aspek morfologis
yang menyangkut penggambaran satuan-satuan morfemis
- aspek sintaksis yang
menyangkut penanda ujaran berupa tanda baca.
Bahasa Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian
ejaan. Adalah Ejaan Van Ophuysen yang pertama kali berlaku pada 1901. Ejaan bahasa
melayu ini berdasarkan rancangan CH. A. Van Ophuysen dengan bantuan Engku
Nawawi Sutan Ma’moer dan Mohammad Taib Soetan Ibrahim.
Huruf-huruf
peninggalan ejaan Van Ophuysen yang dapat kita kenali adalah:
1. ch, dj, sy, nj, sj, tj, oe, dan hamzah(‘)
2. beberapa peraturannya seperti:
a. penghilangan ahuruf antara w antara lain dalam kata koe,
doeit, goeroean.
b. penggunaam kata 2 untuk kata ulang yang kata-katanya
diulang sepenuhnya tetapi tidak untuk kata ulang yang hanya diulang sebagian.
Jadi laki-laki, koeda-koeda boleh ditulis laki2, koeda2, tetapi berlari-lari,
memata-matai tidak boleh ditulis berlari2 dan memata2i.
Setelah Ejaan Van Opuysen, yang berlaku kemudian adalah
Ejaan Republik. Ejaan ini ditetepkan berdasarkan Surat Keputusan No. 264/Bhg.A
tabggal 19 Maret 1974 ketika Soewandi menjadi Mentri Pengajaran, Pendidikan,
dan Kebudayaan. Ejaan yang juga kerap disebut Ejaan Soewandi ini adalah upaya
penyederhanaan dan penyelarasan atas ejaan yang sudah ada.
Beberapa
perubahan yang dilakukannya, seperti:
a. yaitu huruf e pepat (é)cukup ditulis e
b. bunyi hamzah (‘) dihilangkan dan diganti dengan huruf k
untuk sebagian kata, jadi tidak ada lagi kata ra’yat atau ta’pa, tetapi rakyat
atau tapa.
c. ulangan tidak boleh ditulis dengan angka 2 tetapi harus
dilihat bagia yang diulangnya misalnya: mudah2an, ber-lari2an, me-mata2i.
Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia) merupakan
Ejaan yang selanjutnya. Ejaan ini diputuskan oleh siding prutusan Indonesia dan
Malaysia yang diketuai Slamatmuljana (Indonesia) dan Syed Nasir Bin Ismail (
Malaysia) pada !959.
Berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 062/67
tanggal 19 September 1967 disahkan sebuah panitia Ejaan Bahasa Indonesia.
Panitia ini bertugas unutk melanjutkan pekerjaan panitia Ejaan Melindo.
Oleh Pemerintah Indonesia, Rancangan Ejaan Melindo kemudian
diresmikan dengan nama Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), setelah sebelumnya
diseminarkan di Puncak, Jawa Barat. Dan berdasarkan keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 20Mei 1972 No. 03/A.I.72 dan keptusan
Presiden No. 57 tahun 1972. Ejaan ini lebih disempurnakan lagi pada tahun 1987
berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/u/1987
tanggal 9 September. Itulah pedoman Ejaan yang kita pakai sekarang.
Perubahan yang
cukup mendasar pada EYD, yaitu:
a. tidak dipergunakannya lagi angka 2 untuk menuliskan
bentuk ulang
b. perubahan penulisan huruf j menjadi y, dj menjadi j, nj
menjadi ny, ch menjadi kh, tj menjadi c, dan sj menjadi s
DAFTAR PUSTAKA
www. wikipedia.com
www.ensiklopediabebas .com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar