Minggu, 06 Januari 2013

MAKALAH LINGUISTIK UMUM AKSARA DAN EJAAN


MAKALAH
LINGUISTIK UMUM
AKSARA DAN EJAAN
 









DISUSUN OLEH:
1.    Dede Pratiwi 2222101678



JURUSAN DIKSATRASIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan karunia dan rahmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat beserta salam  kami curahkan kepada junjungan nabi besar kami Muhammad SAW, beserta keluarga dan sanak saudaranya.
Makalah ini kami persiapkan untuk memenuhi persyaratan tugas linguistic umum.
Selama penyusunan makalah ini tidak sedikitpun kami menemui berbagai kesulitan dan hambatan baik segi moril dan materil.Namun Alhamdulillah semuanya bisa teratasi berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak.
Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Odien R selaku dosen mata kuliah  linguistic umum, dan kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan pada waktunya
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena itu, kami mengharap kritik dan saran yang membangun demi kebaikan makalah ini kedepanya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi yang membaca pada umumnya amin


Serang, Januari 2011
                                                                            

Penulis

                                   


Aksara dan Ejaan
Ini adalah versi stabil, diperiksa pada tanggal 4 September 2010. Ada 2 perubahan tertunda menunggu peninjauan.
Aksara
Aksara adalah
  1. sebuah sistem penulisan suatu bahasa dengan menggunakan tanda-tanda simbol.
  2. sebuah alfabet
  3. huruf
Aksara adalah istilah bahasa Sansekerta, akshara, Istilah lain untuk menyebut aksara adalah huruf atau abjad (bahasa Arab) yang dimengerti sebagai lambang bunyi (fonem) sedangkan bunyi itu sendiri adalah lambang pengertian yang menurut catatan sejarah secara garis besar terdiri dari kategori (Kartakusuma 2003):
  1. Piktografik antara lain aksara hieroglif Mesir, Tiongkok Purba;
  2. Ideografik antara lain aksara Tiongkok masa kemudian yang hasil goresannya tidak lagi dilihat melukiskan benda konkrit;
  3. Silabik antara lain menggambarkan suku-suku kata seperti nampak pada aksara Dewanagari (Prenagari), Pallawa Jawa, Arab, Katakana dan Hiragana Jepang;
  4. Fonetik antara lain aksara Latin, Yunani, Cyrilic atau Rusia dan Gothik atau Jerman.
   Ada pendapat sebelum hadir aksara Arab dan Latin sekarang, tulisan yang lazim dipergunakan di kawasan Asia Tenggara (kecuali di Vietnam dan sebagian kalangan penduduk Cina Selatan) diduga sebagian besar dari pengaruh India. Begitu pun halnya yang terjadi di Nusantara para sarjana (pribumi dan asing) hampir selalu mengajukan pendapat senada bahwa aksara di Nusantara hadir sejalan dengan berkembangnya unsur (Hindu-Buda) dari India yang datang dan menetap, melangsungkan kehidupannya dengan menikahi penduduk setempat. Maka sangat wajar, langsung atau tidak langsung disamping mengenalkan budaya dari negeri asalnya sambil mempelajari budaya setempat di lingkungan pemukiman baru, salah satu implikasinya adalah bentuk aksara (de Casparis 1975).
            Namun sejauh fakta yang ada, pendapat itu tidak disertai penjelasan tuntas hingga pada suatu waktu seorang ahli epigrafi yang berkebangsaan Prancis bernama Louis Charles Damais (l951--55) yang menyatakan bahwa hipotesis para ahli tersebut belum benar-benar menegaskan darimana dan bagaimana awal kehadiran serta mengalirnya arus kebudayaan India ke Nusantara kecuali diperkirakan tidak hanya berasal dari satu tempat saja, tetapi juga dari berbagai tempat lainnya.
            Walaupun tidak dipungkiri bahwa aksara-aksara di Nusantara memang menampakkan aliran India selatan atau aliran India utara, namun juga cukup rumit dan sulit ditentukan darimana kepastian awalnya sebab meskipun ada pengaruh India, tetapi kebudayaan India tidaklah berperan sepenuhnya terhadap lahirnya aksara di Nusantara khususnya suku bangsa yang menghasilkan sumber tertulis dengan mempergunakan aksara-aksara nasional atau aksara daerah yang tergolong archais itu.
             Ada asumsi bahwa kebudayaan India datang ke Nusantara semata karena peran cendekiawan Nusantara sendiri yang telah turut ambil bagian ke kancah pergaulan politik internasional. Tetapi tidak berarti bahwa dikala itu bangsa Nusantara belum mengenal aksara sebagai alat melakukan interaksi sosial dengan bangsa-bangsa lain. Wujud ataupun bentuk aksara yang berperan pada periode yang disebut “klasik’ itupun sesungguh-sungguhnya merupakan hasil dayacipta cendekiawan lokal yang telah meramu secara selektif atas unsur-unsur asing dari berbagai aliran yang pada klimaksnya mencapai kesepakatan gaya jenis dan bentuk aksara sesuai kondisi wilayah budaya. Saat berlangsungnya proses inovasi, masyarakat Nusantara telah mencapai kondisi siap mental, karena itu tatkala inovasi asing (luar) tiba, khususnya dari India, masyarakat Nusantara segera dapat mencerna dan menyesuaikan diri tentu dengan melalui pengetahuan dan pengalaman kebudayaan setempat (Damais 1952; 1955).
            Di masa lampau aksara diwujudkan atau digambarkan dengan cara digores atau dipahat pada berbagai bahan (media) keras seperti batu, logam (emas, perunggu, tembaga), kayu, juga bahan-bahan lunak seperti daun tal (ron-tal), atau nipah. Alat menggores atau memahat aksara pun disesuaikan dengan kadar kekerasan bahan yang dipergunakannya yakni semacam tatah kecil (paku/pasak) menyudut tajam pada bagian ujungnya, atau semacam pisau kecil dibentuk melengkung, pipih, sangat tajam. Selain berfungsi untuk menorehkan aksara, juga untuk mengiris dan menghaluskan bahan (daun) menjadi lempiran-lempiran tipis dengan ukuran panjang, lebar dan ketebalan tertentu yang siap pakai. Bahan-bahan keras seperti batu atau jenis logam tertentu (emas, tembaga, perunggu) dipakai semata karena bahan tersebut dianggap lebih tahan lama.
            Sejumlah besar data tekstual (prasasti/document) dari masa lampau sebagian besar ditemukan pada batu atau lempeng emas, perunggu maupun tembaga dan selalu dikeluarkan oleh penguasa (raja). Oleh karena itu setiap prasasti adalah dokumen resmi pemerintah negara atau kerajaan dan benar-benar disahkan oleh raja dengan kata lain Surat Keputusan (SK) Kerajaan yang bersangkutan. Anugrah dari raja kepada seseorang yang dianggap berjasa atau memutuskan sesuatu perkara hukum (perdata). Karena itu selain digoreskan pada batu (otentik), dibuat beberapa copy atau tembusan (tinulad/tiruan otentik) prasasti yang digoreskan pada lempeng tembaga disebut tamra prasasti (Kartakusuma 2003; 2006).
            Pada masa dahulu cara pengawetan sesuatu bahan belum dikenal, satu-satunya upaya kearah itu disalin kembali, namun teknik penyalinan kembali lebih sering dilakukan pada sejumlah naskah pada daun tal (rontal), atau daluwang semacam lembaran kertas atau bahan yang diolah dari kulit pohon tertentu, Berbeda dengan negeri Cina, aksara dituliskan dengan menggunakan kwas dengan cara disapukan setelah dicelupkan pada cairan berwarna pekat (semacam tinta). Tentu saja hasilnya jauh berbeda, betapapun hasil goresan berkesan lebih nampak jikalau dibandingkan hasil sapuan, karena aksara yang digoreskan akan menampakkan jejak-tekan berbekas dalam dan terasa manakala diraba dan tidak memerlukan pewarna (tinta) seperti yang dihasilkan oleh sapuan kwas. Menggores atau memahat aksara dengan alat memang jauh lebih rumit, memerlukan keahlian dan ketrampilan dengan ketekunan khusus, hasil latihan dan kebiasaan (secara terus-menerus).
            Oleh karena itu di masa lampau untuk menggoreskan aksara atau memahat suatu aksara (naskah karyasastra atau prasasti) dipegang oleh ahli pemahat aksara yang disebut citralekha. Istilah pinjaman dari bahasa Sanskerta dari kata citra = clear, bright, distinguished given to image in round with all limbs completely worked out and shown; sedangkan lekha-laikhani = instrument for writing, reed pen, pencil (Sircar 1965). Maka itu hasil yang digoreskan atau uang pahatan aksara yang berkembang pada masa klasik bentuknya lebih dapat digolongkan sebagai karyaseni kebudayaan menampilkan kekhasan atau keunikan jejak bekas tersendiri. Tentu saja setiap aksara tidak pula ter-lepas dari gaya dan tekanan pahatan yang nampak pada bagian-bagian teks aksara dicirikan oleh tebal, tipis, dengan posisi tubuh aksara tegak, agak tegak, dan miring, ataupun bentuk yang persegi, bulat, pipih memanjang, melebar, tambun, dan kokoh.

Sambandha: Aksara-Aksara di Nusantara (Dwipantara)

            Sejarah mencatat bahwa aksara tertua di Nusantara (Asia Tenggara umumnya) disebarluaskan seiring dengan menyebarnya agama Buddha, jenis aksara yang semula dipergunakan untuk menulis ajaran. mantra-mantra suci atau teks-teks dengan jenis aksara yang dipakainya disebut Sidhhamatrika, disingkat Siddham. Tetapi sarjana Belanda lebih menyukai istilah Prenagari (Damais 1995; Sedyawati 1978).
            Jenis aksara inilah yang kemudian berkembang di Asia Tenggara walaupun hanya terbatas atau terpatri, untuk menulis teks-teks keagamaan pada media tablet, materai atau stupika yang dibuat dari tanah liat (bakar atau terracotta) atau dijemur dan dikeringkan matahari. Objek tekstual jenis ini hampir dipastikan tidak atau jarang disertai unsur pertanggalan, karenanya sulit ditentukan periodenya secara tepat. Namun melalui analisis palaeografis yakni perbandingan kemiripan tipe, gaya, bentuk aksara dari zaman ke zaman, maka khusus aksara pada tablet, meterai atau stupika yang ditemuakan di Asia Tenggara diperkirakan dari sekitar abad pertama sampai ketiga Masehi (A.D). Di Nusantara benda-benda seperti ini ditemukan di Sumatra, Jawa dan Bali dengan menggunakan bahasa Sanskrta.
             Aksara yang kemudian lebih populer di Nusantara adalah aksara dari (dinasti) Pallava (India selatan) selanjutnya disebut aksara Pallawa (saja), Juga memiliki kecenderungan tidak menyertakan unsur pertanggalan, dijumpai pada prasasti tujuh Yupa (tugu peringatan kurban) kerajaan Kutai (Kalimantan timur) yang diperkirakan dari tahun 400 Masehi dan sejumlah prasasti dari kerajaan Tarumanagara (Jawa Barat) tahun 450 Masehi.
            Kedua kerajaan yang cukup jauh letaknya sama-sama mengggunakan aksara Pallawa-Grantha dan bahasa Sanskrta dengan gaya khas inovasi-nya. Prasasti-prasasti masa Tarumanagara (tujuh) dipahatkan pada batu alam. Khusus prasasti Ciaruteun dan Muara Cianten (Kampung-muara), di tepi (sungai) Cisadane dan Cibungbulang (Bogor), Jawa Barat, disusun dan ditata dengan metrum (sloka) Sanskrta; ada juga yang berpahatkan pilin, umbi-umbian dan sulur-suluran. Beberapa sarjana menyebut pahatan pilin, umbi, dan sulur-suluran itu sebagai bentuk aksara khusus yang disebut kru-letters, conch-shell-script atau aksara sangkha. Sejauhmana kebenarannya, yang jelas pilin, pilin gandha ataupun sulur-suluran merupakan citra gaya seni geometris yang paling tua dikenal manusia di bumi Nusantara, sebelum dikenal aksara (Djafar 1978).
             Ragam hias yang kemudian lebih banyak ditemukan sebagai indegenous khusunya berkembang di beberapa daerah di Sulawesi “Garonto Passura” . Karakter-karakter yang memiliki keistimewaan sebagai hasil dayacipta setempat yang telah sangat tua yang dikembangkan di alam dan lingkungan kebudayaan yang didasari kemapanan kreativitas dan berkembang sesuai kondisinya. Ciri perkembangan inilah yang kemudsian menjadi complicated sebab setiap individu atau kelompok masyarakat dari suatu lingkungan kebudayaan memiliki konsep-konsep untuk mengembangkan gaya dan bentuk aksara selanjutnya melahirkan tipe-tipe khas pendukung budaya. Pada dasarnya aksara yang berkembang di Nusantara secara visual khususnya pada periode Klasik secara umum terdiri dari 33 dasar ucapan sebagai berikut di bawah:
Dasar Ucapan


Pendek
Panjang
1.
Velar/laringal/guttural
a
ã
2.
labial
u
û
3.
palatal
i
î
4.
lingual/domal
r
ŗ
5.
dental
l
Ļ


Vokal Rangkap [diftong]



Semua panjang
1.
gutturo palatal
e
ai
2.
gutturo labial
o
au


ö
atau eu
Vokal Perubahan



a.
visagra
[h]
b.
anusvaraabial
[ŋ]
Konsonan Dasar Ucapan










1.
velar/laringal guttural
k
kh
g
gh
ng



2.
palatal

c
ch
j
jh
ny
y
š
3.
lingual

ţ
ţh
h
ņ
ŗ
ş

4.
Dental

t
th
d
dh
n
l
S
5.
labial

p
ph
b
bh
m
w










h

            Sejak awal kehadirannya aksara-aksara di kawasan Asia Tenggara hadir berkembang pada periode-periode yang hampir sama menunjukkan adanya kemiripan berlangsung hingga abad VIII Masehi. Meskipun dalam beberapa hal masih memper-lihatkan pengaruh Pallawa seperti gaya aksara masa sesudahnya yang oleh Boechari disebut aksara Pasca Pallawa, namun hampir di setiap wilayah Asia Tenggara Daratan dan kepulauan (Nusantara/Dwipantara) sekurang-kurangnya abad VIII Masehi telah berkembang aksara yang pada prinsipnya sama tetapi memiliki corak-corak khusus (tersendiri).
            Gaya dan jenis aksara sebagian besar mirip aksara pada sejumlah dokumen (sumber) tertulis di Sumatra dan Jawa mempergunakan jenis bahasa pengantar yang dikenal berkembang pada masing-masing daerah pendukung budaya (a.l. Malayu kuna, Jawa kuna, Sunda kuna dan Bali kuna).
             Beberapa pendapat menyatakan bahwa kemungkinan aksara-aksara yang hadir di Nusantara merupakan perkembangan dari aksara Pallawa namun ciri dan pertaliannya masih belum benar-benar dijelaskan, sebab difrensiasi ciri atas aksara-aksara lokal dan kaitannya kepada Pallawa terlampau jauh. Batas antara gaya aksara yang satu (lebih tua) dengan yang hadir kemudian sulit ditentukan, kemungkinan keduanya berkembang secara hampir bersamaan (overlapping). Atau gaya yang telah ada kemungkinan tersilih oleh kehadiran gaya dan jenis aksara yang baru, peralihan dan pergantian sesuai perkembangan zaman seperti yang terjadi dengan munculnya aksara pegon dan latin. Yang baru telah berkembang lebih meluas sedangkan yang lama berkembang secara lokal saja. Perbedaan tersebut nampak seperti yang kemudian berkembang sebagai aksara Jawa (tengahan atau baru), terdiri 20 aksara [ho-no-co-ro-ko]:
[ha]- [na]- [ca]- [ra]- [ka]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [dha]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [tha]- [nga]
Kemudian aksara Sunda yang kerap disebut Ca-ca-ra-kan dengan bunyi yang hampir sama tetapi terdiri dari 18 aksara
[ha]- [na]- [ca]- [ra]- [ka]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [nga]

            Kuatnya indegenous yang menjadi ciri aksara di Nusantara adalah untuk mengatasi kesulitan tatkala penyesuaikan sistem fonetik (bunyi) bahasa-bahasa Nusantara dalam mengalihaksarakan bunyi pepet/ pepat (=tanda seperti ) aksara dalam suatu kata untuk menyatakan bunyi è; é; ê; æ; ë) dan hiatus (bunyi peralihan diantara dua monoftong berdampingan dan membentuk dua suku berurutan tanpa jeda atau konsonan antara seperti sia – sya – sya; dua – duwa – dwa), semua unsur bunyi tersebut hanya dikenal didalam kosakata (abjad) bahasa-bahasa daerah di Nusantara (Jawa, Sunda, Bali, Sumatra, atau Malayu) yang tidak dikenal dalam kosakata bahasa ataupun aksara pengaruh dari India. Ketiadaan inilah yang justru membedakan antara aksara Nusantara dan India, tanda-tanda bunyi sepenuhnya milik ”multlak” masyarakat Nusantara dan tentu saja harus dicantumkan ke bentuk aksara yang disebut diakritis.

Ejaan
Ejaan adalah penggambaran bunyi bahasa (kata, kalimat, dsb) dengan kaidah tulisan (huruf) yang distandardisasikan. Ejaan biasanya memiliki tiga aspek yaitu
  1. aspek fonologis yang menyangkut penggambaran fonem dengan huruf dan penyusunan abjad
  2. aspek morfologis yang menyangkut penggambaran satuan-satuan morfemis
  3. aspek sintaksis yang menyangkut penanda ujaran berupa tanda baca.



Bahasa Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian ejaan. Adalah Ejaan Van Ophuysen yang pertama kali berlaku pada 1901. Ejaan bahasa melayu ini berdasarkan rancangan CH. A. Van Ophuysen dengan bantuan Engku Nawawi Sutan Ma’moer dan Mohammad Taib Soetan Ibrahim.

Huruf-huruf peninggalan ejaan Van Ophuysen yang dapat kita kenali adalah:
1. ch, dj, sy, nj, sj, tj, oe, dan hamzah(‘)
2. beberapa peraturannya seperti:
a. penghilangan ahuruf antara w antara lain dalam kata koe, doeit, goeroean.
b. penggunaam kata 2 untuk kata ulang yang kata-katanya diulang sepenuhnya tetapi tidak untuk kata ulang yang hanya diulang sebagian. Jadi laki-laki, koeda-koeda boleh ditulis laki2, koeda2, tetapi berlari-lari, memata-matai tidak boleh ditulis berlari2 dan memata2i.
Setelah Ejaan Van Opuysen, yang berlaku kemudian adalah Ejaan Republik. Ejaan ini ditetepkan berdasarkan Surat Keputusan No. 264/Bhg.A tabggal 19 Maret 1974 ketika Soewandi menjadi Mentri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan. Ejaan yang juga kerap disebut Ejaan Soewandi ini adalah upaya penyederhanaan dan penyelarasan atas ejaan yang sudah ada.

Beberapa perubahan yang dilakukannya, seperti:
a. yaitu huruf e pepat (é)cukup ditulis e
b. bunyi hamzah (‘) dihilangkan dan diganti dengan huruf k untuk sebagian kata, jadi tidak ada lagi kata ra’yat atau ta’pa, tetapi rakyat atau tapa.
c. ulangan tidak boleh ditulis dengan angka 2 tetapi harus dilihat bagia yang diulangnya misalnya: mudah2an, ber-lari2an, me-mata2i.

             Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia) merupakan Ejaan yang selanjutnya. Ejaan ini diputuskan oleh siding prutusan Indonesia dan Malaysia yang diketuai Slamatmuljana (Indonesia) dan Syed Nasir Bin Ismail ( Malaysia) pada !959.
Berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 062/67 tanggal 19 September 1967 disahkan sebuah panitia Ejaan Bahasa Indonesia. Panitia ini bertugas unutk melanjutkan pekerjaan panitia Ejaan Melindo.
Oleh Pemerintah Indonesia, Rancangan Ejaan Melindo kemudian diresmikan dengan nama Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), setelah sebelumnya diseminarkan di Puncak, Jawa Barat. Dan berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 20Mei 1972 No. 03/A.I.72 dan keptusan Presiden No. 57 tahun 1972. Ejaan ini lebih disempurnakan lagi pada tahun 1987 berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/u/1987 tanggal 9 September. Itulah pedoman Ejaan yang kita pakai sekarang.

Perubahan yang cukup mendasar pada EYD, yaitu:
a. tidak dipergunakannya lagi angka 2 untuk menuliskan bentuk ulang
b. perubahan penulisan huruf j menjadi y, dj menjadi j, nj menjadi ny, ch menjadi kh, tj menjadi c, dan sj menjadi s
























DAFTAR PUSTAKA
www. wikipedia.com
www.ensiklopediabebas .com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar